Jumat, Desember 03, 2010

STANDAR BERBAHASA YANG BENAR, ANTARA BAHASA DAN NAHWU

A. Sekilas Tentang Bahasa dan Nahwu
1. Pengertian Bahasa dan Pokok Bahasannya
a. Pengertian Bahasa
Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language dalam bahasa Inggris, Taal dalam bahasa Belanda, Sparache dalam bahasa Jerman, Langue dalam bahasa Prancis, Lingua dalam bahasa Italia, Lengua dalam bahasa Spanyol, Lingua dalam bahasa Latin, Kokugo dalam bahasa Jepang, lughah dalam bahasa Arab.
Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri sesuai dengan pemakainya, untuk menyebut suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. (Oscar rusmaji, aspek-aspek linguistic : 1)
Keluasan aspek yang terkandung dalam istilah bahasa tersebut, terlihat dari beraneka ragamnya batasan istilah tersebut, seperti yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. (red. Ibid hal : 1-2).
Terlepas dari batasan-batasan istilah yang beraneka ragam tersebut dapat disimpulkan bahwa : bahasa secara teratur dan sistematik digunakan oleh si pemakai bahasa. Pada dasarnya bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal yang arbitrer, lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.

b. Ciri-ciri bahasa
Agar diproleh pengertian yang lebih memadai tentang bahasa perlu dikemukakan beberapa cirri yang dimilikinya sebagai berikut :
1) Bahasa adalah bunyi artikulasi
2) Bahasa itu berupa lambang-lambang
3) Bahasa adalah system yang terdiri dari beberapa system
4) Lambang bahasa itu bersifat arbiter
5) Bahasa itu murni manusiawi
6) Bahasa manusia tidakminstingtif
7) Bahasa adalah alat komunikasi
8) Bahasa bersifat konvensional
9) Bahasa itu bersifat universal
10) Bahasa bersifat kreatif

c. Ilmu bahasa (Linguistik)
Linguistik (latin, lingua=bahasa) adalah ilmu yang mempergunakan bahasa sebagai objek studi. Atau dalam dafinisi lain seperti yang diktakan Martinet (1987:19) tel’ah ilmiah mengenai bahasa manusia.(drs.Abdul Chaer, linguistic umum: 6) Anggapan dasarnya ialah bahwa bahasa itu adalah gejala (fenomena) alam yang berdiri sendiri terlepas dari fenomena yang lain. Karena itu, bahasa dapat dipelajari secara tersendiri, tanpa memperhatikan aspek-aspek di luar bahasa. Objek utaman dari linguistic adalah bahasa, sedang tujuannya adalah untuk mengkaji bahasa sebagai bahasa dan untuk bahasa itu sendiri yaitu bagaimana sifat-sifat dan cara kerja (perilaku bahasa).( Oscar rusmaji, aspek-aspek linguistic : 12)
Perlu diperhatikan bahwa menguasai suatu bahasa (dalam arti dapat memakai secara lancar) tidak sama dengan mampu menerangkan kaidah-kaidahnya. Tambahan pula belajar suatu bahasa tidak sama dengan tentang belajar bahasa tersebut. Misalnya, anda menguasai bahasa indonsia, tetapi tanpa keahlian khusus anda tidak dapat menerangkan tatabahasa Indonesia. Dengan perkataan lain apa yang anda kuasai (yaitu bahasa Indonesia sebagai language) memang merupakan objek penelitian linguistic terhadap bahasa inonesia, tetapi cara penguasaan tersebut bukan objek linguistik
Bidang-bidang yang mendasari adanya pengetahuan linguistik menyangkut stuktur struktur-struktur dasar tertentu, yaitu: struktur bunyi bahasa yang bidangnya disebut fonetik, dan fonologi, struktur kata yang namanya morfologi, struktur antar kata dalam kalimat yang namanya sintaksis, masalah arti atau makna yang namanya semantic, hal-hal yang menyangkut siasat komonikasi antar orang dalam parole, atau pemakaian bahasa dan menyangkut juga hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan, yang namanya pragmatik.

2. Pengertian Nahwu dan Bahasannya
a. Pengertian tentang nahwu
Menurut ahmad al Hasyim, nahwu secara etimologi berarti maksud, arah, dan ukuran. Adapun secara terminology nahwu adalah aturan (dasar hukum) yang digunakan untuk member baris (syakal) akhir kata sesuai dengan jabatannya masing-masing dalam kalimat agar terhindar dari kekeliruan, baik bacaan maupun pemahaman.
Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat (الجملة). Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran (الاسناد). Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.
Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.
Bangsa Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek. Saat sedang bersantai dengan keluarga misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada saat yang lain mereka harus menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
Setelah Islam berhasil melakukan futuh ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab mau tidak mau harus bergumul dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab tersebut. Akibat pergumulan yang berlangsung secara intens dan dalam waktu lama, bahasa Arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun mereka melakukan banyak kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab yang baru belajar berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh orang awam namun juga oleh orang-orang terpelajar dan para sastrawan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an, telah mendorong sebagian orang yang mahir berbahasa untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa, yang pada kemudian hari dikenal sebagi ilmu nahwu.




b. Prinsip-Prinsip Dalam Nahwu
1. Al-Simâ’.
Ahli al-Badiyah (al-Badwi) sebagai pemegang otoritas.Salah satu unsur terpenting dan utama yang menjadi pilar bagi tatabangun Ilmu Nahwu adalah al-Sima’ yang secara harfiah bearti “mendengar atau mendengarkan”. Tetapi kata tersebut memiliki pengertian yang lebih luas dari sekeda arti di atas. Al-Sima’ dalam konteks nahwu berarti sebuah penelitian suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keotentikan suatu kasus kebahasaan yang sedang mereka hadapi. Sebenarnya prinsip al-Sima’ ini lebih erat kaitanya dengan masalah budaya daripada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya “otoritas”. Dalam tradisi Arab klasik terdapat kelompok tertentu yang diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa sehingga mereka selalu menjadi rujukan atau bahkan penentu bagi kevaliditasan sebuah teori atau pembuatan aturan dalam tatabahasa, tentu selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kelompok pemegang otoritas tersebut adalah masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman atau pegunungan yang dalam sistem sosial Arab biasa disebut dengan “Ahl al-Badwi atau al-‘A’râb. Oleh karena itu, para ahli bahasa dan nahwu pada abad awal hingga pertengahan Islam, mereka selalu menjadikan al-A’rab atau ahli al-Badwi sebagai rujukan dalam persoalan kebahasaan meskipun dalam tingkat dan kadar kekritisan yang berbeda-beda antara satu ahli dengan yang lain. Para ahli Nahwu mazhab Basrah dan Kufah, misalnya, meskipun mereka sama-sama mencari legitimasi dan refrensi dari al-A’rab, tetapi mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai informasi yang dapat dari al-A’rab. Dalam pandangan orang Kufah, semua yang mereka dengar dan dikatakan oleh al-A’rab mereka anggap valid dan original sehingga sah dan dapat dijadikan sebagai standar kebenaran sebuah teori untuk menentukan kaidah kebahasaan. Akibatnya, nahwu mazhab Kufah cenderung lebih memiliki banyak variasi dan lebih longgar dalam merumuskan kaidah-kaidah nahwu mereka. Sebab, suatu ketentuan kaidah dalam sistem gramatika mazhab tersebut bisa mereka tetapkan hanya berdasarkan dan mengacu pada sebuah bait puisi masyarakat badui sebagai pijakan atau rujukan penetapannya.
Tidak demikian dengan mazhab Bashrah, sesuai dengan karakter mereka yang sangat rasional dan kritis, mereka sangat selektif, melakukan kalaifikasi dan verifikasi atas segala informasi yang mereka dapat dari al-‘Arab sebelum dijadikan sebagai rujukan atau acauan teori yang akan mereka bangun. Di samping itu, secara geografis letak kota Bashrah yang lebih dekat dengan daerah pedalaman daripada kota Kufah, membuat para ahli nahwu Bashrah dapat berinteraksi lebih erat sehingga lebih dapat mengenali dan memahami karakter masyarakat badui, mana diantara mereka yang dapat dijadikan sumber informasi dan mana yang sebaliknya. Sedangkan Kufah, di samping lebih dekat ke Irak daripada ke daerah pedalaman, bahasa masyarakat kota ini sudah banyak tercampur dengan bahasa asing, terutama dari masyarakat Yaman dimana bahasa Arab Yaman ini banyak tercampuri pula oleh bahasa Parsi dan Ethopia. Oleh karena itu, bahasa Arab Kufah dianggap kalah fasih dengan bahasa Arab Bashrah.

2. Al-Qiyâs
Prinsip kedua dalam epistemologi nahwu adalah al-Qiyâs. Prinsip muncul dan digunakan dalam merumuskan kaidah kebahasaan seiring dengan dimulainya permusan dasar-dasar ilmu nahwu. Dalam berbagai literatur yang membicarakan teori dan gramatika bahasa Arab, hampir seluruhnya menyebutkan bahwa prinsip al-Qiyâs telah mulai digunakanoleh tokoh yang dianggap sebagai bapak Ilmu Nahwu, Abu al-Aswad al-Du’ali, kemudian diperluas pemaknaan, pengertian dan penggunaannya oleh para ahli nahwu generasi selanjutnya terformula dalam mazhab-mazhab nahwu itu. Pada masa awal kemunculan nahwu, al-Qiyas memiliki pengertian yang sangat sederhana, yakni:”menjaikan bahasa yang dianggap benar (fasih) sebagai ukuran atau analogi dan model pembentukan suatu kalimat tertentu”. Jadi, al-qiyas adalah membentuk pola bahasa dengan pola bahasa yang telah ada sebelumnya, baik dalam segi struktur kalimatnya maupun dari segi bentuk I’rabnya.
Dengan kata lain, al-Qiyas semula merupakan pengembangan lebih lanjut dari prinsip al-Sima’ yang telah muncul sebelumnya. Itu sebabnya, para ahli nahwu generasi awal juga terkadang berbeda pendapat sendiri untuk menentukan sebuah kasus dalam bahasa apakah ia sima’i atau qiyasi.
3. Al-Âmil‎‎‎‎‎‎‎‎‎‎.
Prinsip ketiga dalam sistem epistemologi “Ilmu Nahwu” adalah “amil” (al-‘Amil). ‘Amil yang merupakan bentuk isim fa’il dari kata “ ‘amil” secara harfiah berarti “sesuatu yang bekerja”. Tetapi dalam pengertian ahli nahwu amil adalah “hal-hal yang menyebabkan atau mempengaruhi yang lain dari segi i’rabnya”. Amil tersebut dapat berupa sebuah kata verbal (terucapkan, tertulis) atau berupa kata yang tereksplisitkan secara jelas (ma’nawi), juga dapat berupa huruf-huruf yang difungsikan sebagai amil. Amil, meskipun muncul lebih belakangan jika dibandingkan dengan prinsip al-Qiyas dalam bentuknya yang paling awal, namun ia memiliki peran yang sangat dominan dan yang terpenting dari seluruh sistem epistemologi ilmu nahwu, khususnya dalam formulasinya seperti yang kita kenal sekarang ini. Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa prinsip al-Qiyas muncul seiring dengan munculnya kesadaran para ahli bahasa untuk mulai mengilmiahkan bahasa Arab, sementara konsep amil baru dimunculkan, dirumuskan dan dikembangkan oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
Begitu dominannya peran amil dalam nahwu sehingga hampir seluruh kitab yang berbicara soal nahwu membahasnya hingga melampaui pembahasan prinsip-prinsip lainnya. Fenomena seperti ini tampaknya wajar belaka mengingat secara faktul amil memang menjadi titik sentral dan menjadi pilar utamanya dalam tatabangun (epistemologi) ilmu nahwu, sedangkan prinsip-prinsip lain hanya bersifat komplementer yang kehadiranya sekedar untuk menopang dan memperkuat posisi amil itu sendiri. Akibat dari munculnya prinsip yang sangat dominan dalam ilmu ahwu tersebut, munculah kemudian persoalan-persoalan nahwu yang bersifat spekulatif dan rasional. Mislnya saja, sekedar contoh, jika dalam awal kemunculan ilmu nahwu telah dirumuskan teori “al-Fa’il atau al-Mubtada’”, keduanya berfungsi sebagai subyek, dan beri’rab rafa’ sebagai tanda statusnya, maka oleh al-Khalil mengajukan sebuah pertanyaan; apa atau siapa yang membuat mubtada atau fa’il itu dibaca rafa’? Maka iapun lalu menyusun teori barunya yang ia sebut dengan “amil” itu. Berawal dari prinsip amil ini pula kemudian lahir teori-teori lain yang merupakan pengembangan atau solusi bagi kasus-kasus tertentu yang tidak dapat dipecahkan dengan amil yang bersifat verbal, misalnya saja muncul istilah amil maknawi, amil muqaddar (yang diperkirakan ). Juga muncul teori “illat” dengan berbagai ragam dan macamnya. Itu sebabnya, kemudian muncullah tokoh-tokoh ahli nahwu yang mencoba membebaskan nahwu dari berbagai kerumitan teori dan dari prinsip-prinsip yang mereka anggap sebagai hal yang tidak perlu ada, atau paling tidak tidaka terlalu mendesak untuk tetap dipertahankan. Berbagai karya kemudian mereka tulis, baik yang sengaja menyajikan intisari dari ilmu nahwu dan tanpa melakukan kritik terhadap karya-karya lain yang terlebuh dahulu, maupun karya yang sengaja ditulis sebagai kritik dan penolakan atas prinsip-prinsip nahwu seperti di atas. Tulisan-tulisan nahwu model ini dan yang serupa kemudian oleh para penulis dan peneliti nahwu dianggap sebagai pembaharuan dalam nahwu.

B. Bahasa dan Nahwu (Tata Bahasa)
Andai saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jini – yakni “suara yang diucapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen manusiawi yang dikhususkan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan keinginan, melalui aturan-aturan yang sistematis, yang dilakukan dengan sadar. Apabila kita mengenal konsepsi seperti diatas, maka kita akan memahami bahasa sebagai sesuatu yang bersifat menyeluruh, atau bahwa bahasa merupakan aturan umum yang tersusun dari aturan-aturan parsial yang satu sama lain tidaklah saling bertentangan. Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak akan mungkin bisa terlepas dari bahasa apabila bahasa memang memerankan posisinya sebagaimana disebutkan diatas.
Aturan-aturan parsial yang dimaksud ialah:
1. Aturan sintaksis (al-nizham al-nahwiy)
2. Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy)
3. Aturan pelafalan (al-nizham al-shautiy)
4. Aturan semantik (al-nizham al-dalaliy)
Aturan sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam menyusun kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah pada kalimat (al-jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam batas-batas tertentu. Maksudnya, ilmu nahwu secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita disebut sebagai hubungan penyandaran (isnad), atau dalam analisis yang dipakai oleh Imam Abdul Qohhar Al-Jurjaniy dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan dalam mengungkap keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya Indikasi-indikasi Keajaiban (Dalaa-il al-I’jaz) : “Ketahuilah bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda sendiri, maka Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni bahwasanya dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu kecuali bahwa sebagian mesti tergantung pada yang lain dan sebagian mesti dibangun diatas yang lain. Demikian pula, suatu keadaan ini mesti disebabkan oleh sesuatu yang lain. Yang demikian ini merupakan sesuatu yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang berakal sehat, juga merupakan sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang manusia pun. Apabila kita mengamati yang demikian itu, kita akan mengetahui bahwa, tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan sebuah isim maka isim tersebut pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda menggunakan dua buah isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang lainnya.

Apabila Anda meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim yang kedua pasti merupakan shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal) baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat sempurna maka isim tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz. Apabila Anda menginginkan bahwa dari dua fi’il, salah satu menjadi syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus memakai huruf atau isim dengan makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa menganalogikannya”.
Selanjutnya, beliau melanjutkan dengan menjelaskan pentingnya berpegang pada kaidah-kaidah dan hukum-hukum nahwu, serta menjaga keterkaitan antara bagian-bagian kalimat di satu sisi dan keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya di sisi yang lain. Demikianlah sampai kalimat-kalimat kita menjadi teratur dan tersusun secara sempurna, dalam rangka mengungkapkan makna tertentu. Dalam hal ini, beliau menulis : “Ketahuilah bahwa tidaklah aturan itu dibuat kecuali agar Anda meletakkan kalimat-kalimat Anda pada tempatnya sebagaimana yang telah diatur oleh ilmu nahwu, dan agar Anda mentaati hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya. Demikian pula, aturan tersebut dibuat agar Anda memahami manhaj-manhajnya. Maka, janganlah Anda melanggar dan mengabaikannya”.
Lebih jauh lagi, beliau menambahkan bahwa nahwu merupakan ukuran bagi benar-tidaknya ucapan dan kualitas keteraturannya. Sebaliknya, menyalahi hukum-hukumnya akan berakibat pada rusaknya ucapan dan rendahnya kualitas keteraturannya. Beliau menulis: “Persoalannya ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya – jika memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk dalam makna ilmu nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa dinyatakan benar atau salah susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat yang bagus dan indah, kecuali Anda harus mempunyai rujukan tentang kebenaran dan kekeliruannya, atau tentang kebagusan dan keindahannya, yang semua itu terdapat dalam makna-makna dan hukum-hukum ilmu nahwu, serta prinsip-prinsip dan bahasan-bahasannya”.
Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan dengan pembentukan kata (al-bunyat wa al- shighat). Ilmu ini mempelajari timbangan-timbangan (wazan) dan indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan (al-hadzf), penambahan (al-ziyadat), perentangan (al-tathwil), pemendekan (al-taqshir), peleburan (al-idgham), pembalikan (al-qalb), penggantian (al-ibdal), pencacatan (al-i’lal), serta keadaan saat terus (washl) dan saat berhenti (waqf). Dari sana kita bisa mengatakan bahwa titik tekan kajian sharf ialah al-shighat wa al-bunyat atau, dengan kata lain, kata (al-kalimat).
Adapun ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari pelafalan bahasa, dari sisi karakteristiknya, sifat-sifatnya, macam-macamnya, serta cara pelafalan dan perpindahannya dari mulut pembicara ke telinga orang yang mendengarkan. Dengan demikian titik tekan kajian pelafalan ialah suara (al-shaut).
Mengenai yang terakhir, yakni ilmu atau aturan penunjukan (indikasi) makna, sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon (al-ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna kontekstualnya (al-ma’na al-siyaqi) yang disebabkan oleh susunan disekitarnya, makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti aspek individu, bahasa, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.
Cabang-cabang ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan ilmu bahasa secara keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu cabang dari yang lainnya karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu yang bisa dipisah-pisah. Bahasa tidak akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya apabila salah satu atau beberapa bagiannya ditiadakan.
Bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya dari segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan, atau penunjukan maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak mungkin bisa ditinggalkan. Kita membedakan atau memilah-milah aturan-aturan tersebut hanyalah sebatas untuk menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari secara terpisah, karena masing-masing aturan tersebut memiliki manhaj, tema, tujuan, persoalan, dan kaidahnya sendiri-sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan dalam rangka studi dan pengkajian, serta untuk tujuan-tujuan pengajaran dan pendidikan.
Dari sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan antara nahwu dan sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya merupakan elemen-eleman dari satu kesatuan yakni bahasa.
Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik dan funsi ilmu nahwu, kiranya jelas bahwa nahwu tidaklah sebagaimana yang didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat dari akhir kata serta i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas dari pada sekedar masalah harakat akhir kata. Ia merupakan ilmu yang mengkhususkan diri berbicara tentang aturan menyusun dan merangkai ucapan. Kata-kata harus disusun berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-kaidah yang sudah ada. Demikianlah kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain, memiliki harakat yang berbeda-beda, dan memiliki posisi yang berbeda-beda, sesuai dengan aturan umum berbahasa. Nahwu merupakan ilmu mengatur kata-kata atau ilmu menyusun kata-kata, yang banyak mempelajari tentang pengaturan kalimat dalam berbagai macam dan bentuknya. Ia juga mempelajari tentang elemen-elemen kalimat, baik dari sisi kedudukannya, fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk dalam aturan-aturan nahwu.

C. Standar Berbahasa Yang Benar (Bahasa Baku), Antara Bahasa dan Nahwu
Istilah bahasa baku telah dikenal oleh masyarakat secara luas. Namun pengenalan istilah tidak menjamin bahwa mereka memahami secara komprehensif konsep dan makna istilah bahasa baku itu. Bahasa baku ialah bahasa yang menjadi pokok, yang menjadi dasar ukuran, atau yang menjadi standar.
Bahasa baku yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Berkaitan dengan peraturan bahasa, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis. Tanpa pengetahuan tata bahasa yang memadai, kita akan mengalami kesulitan dalam bermain dengan bahasa .
Dalam bahasa arab terdapat istilah bahasa fushah atau bahasa arab setandar. Bahasa baku dalam bahasa arab disebut dengan lughah fusha. Dan dia adalah: bahasa al-quran al karim, bahasa warisan bangsa arab, yang digunakan dalam interaksi sehari-sehari secara resmi .
Bahasa Arab standar ini contoh konkretnya adalah bahasa Arab yang dipergunakan dalam setiap komunikasi dengan teratur. Artinya, pemakaian bahasa Arab Fusha itu mempunyai aturan yang disebut dengan tata bahasa. Kosa kata yang dipergunakan dalam ko-munikasi tidak terlepas terpisah-pisah secara bebas tanpa aturan tertentu, tetapi senantiasa mengikuti kebiasaan-kebiasan secara otomatis dalam bahasa Arab yang selanjutnya kebiasaan-kebiasaan itu dijadikan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kaedah-kaedah itu dikenal dengan ilmu nahwu dan sharaf. Dengan aturan itu maka bahasa Arab yang dipergunakan sejak zaman Rasulullah SAW. dapat dipahami dengan mudah oleh generasi berikutnya sampai generasi jauh di masa-masa yang akan datang. Bahasa Arab Fusha ini tidak mengalami nasib seperti bahasa asing lainnya yang sulit dipahami oleh generasi berikutnya.
Setiap Negara memiliki satu bahasa resmi atau bahasa kebangsaan. Bahasa itu menjadi istimewa dengan adanya ketetapan/kaedah tata bahasa (nahwu). Dan selalu digunakan dalam penulisan resmi dalam segala urusan di satu Negara atau antara beberapa Negara yang menggunakan bahasa yang sama. Bahasa ini juga digunakan dalam menterjemahkan buku-buku ilmiah. Dan segala urusan administrasi Negara atau pidato-pidato resmi kenegaraan begitu juga dengan segala urusan yang bersifat fomal. Biasanya bahasa tulisan lebih fusha dari bahasa lisan. Dan dalam bahasa fusha tidak ditemukan bahasa ‘amiyah.
Sumber-sumber yang dijadikan sebagai penetapan ukuran bahasa fusha menurut ahli bahasa arab adalah:
1. al-Qur’an al-Karim
al-Quran merupakan standar bahasa fusha yang tertingi, dan contoh terbaik bagi bahasa satra yang disepakati secara umum. Oleh karena itu ahli bahasa sepakat untuk mengakuinya dan menerima setiap kaedah yang berasal dari al-Qur’an.
2. al-qira’ah al-Qur’aniyah
Qira’at qur’aniyah yaitu bentuk-bentuk qira’ah yang diperbolehkan oleh Nabi S.A.W dalam membaca al-Quran dengan tujuan mempermudah. Diriwayatkan dlam sebuah hadits ketika jibril datang kepada nabi lalu berkata:
إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك القرآن على حرف، فقال صلى الله عليه وسلم: أسأل الله معافاته ومعونته إن أمتي لا تطيق ذلك. ولم يزل يردد المسألة حتى بلغ سبعة أحرف.
3. al-Hadits al-Nabawi al-Syarif
Dalam menetapkan hadits nabi sebagai standar bahasa yang baku, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli bahasa modern (muhaditsin). Sedangkan ahli bahasa klasik (mutaqaddimin) sepakat untuk menjadikan hadits nabi sebagai sumber standar bahasa yang benar, dengan menyertakan sebagaian hadits-hadits tersebut dalam buku-buku mereka, meskipun sedikit.

4. al-Syi’ru
Ahli bahasa memberikan perhatian yang besar terhadap syair arab klasik dan menganggapnya sebagai dasar awal peletakan bahasa baku dalam bahasa arab. Seperti dikatakan bahwa syair itu diwan orang arab.
Dalam syair arab klasik terdapat penetapan secara baku aturan-aturan dalam berbahasa, sehinggga benar atau salahnya bahasa seseorang dapat diukur dengan merujuk ke syair.
5. al-Syawahid al-Natsriyah
Natsar yang dijadikan sebagai sumber standar bahasa baku adalah yang berupa, khutbah (pidato), wasiat (nasehat), amsal (perumpamaan) dan hikmah. Dan semua itu dianggap sebagai bagian sastra yang penting dan memiliki kedudukan sama dengan syair.

1 komentar:

  1. selamat atas tulisan pertamamu, ukhti...terus tulis lagi, ya! kutunggu tulisan anti berikutnya

    BalasHapus