Selasa, Juli 19, 2011

MAHFUZHAT

Tiga sifat manusia yang merusak adalah : kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. ~ Nabi Muhammad Saw
Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya dikala ia marah. ~ Nabi Muhammad Saw

Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seseorang tidak beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. ~ Nabi Muhammad SAW
Jauhilah dengki, karena dengki memakan amal kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar. ~ Nabi Muhammad SAW

Yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang berakhlak paling mulia. ~ Nabi Muhammad SAW

Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta benda kalian, tapi Dia melihat hati dan amal kalian. ~ Nabi Muhammad SAW

Kecintaan kepada Allah melingkupi hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan merambah ke segala hal. ~ Imam Al Ghazali

Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. ~ Khalifah ‘Umar

Setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu, dan uangnya adalah pinjaman. Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman itu haruslah dikembalikan. ~ Ibnu Mas’ud

Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak. ~ Khalifah ‘Ali

Sabar memiliki dua sisi, sisi yang satu adalah sabar, sisi yang lain adalah bersyukur kepada Allah. ~ Ibnu Mas’ud

Takutlah kamu akan perbuatan dosa di saat sendirian, di saat inilah saksimu adalah juga hakimmu. ~ Khalifah ‘Ali

Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku. ~ Khalifah ‘Umar
Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk. ~ Imam An Nawawi

Sesungguhnya seorang hamba itu bila merasa ujub kerana suatu perhiasan dunia, niscaya Allah akan murka kepadanya hingga dia melepaskan perhiasan itu. ~ Sayidina Abu Bakar

Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Orang yang bakhil itu tidak akan terlepas daripada salah satu daripada 4 sifat yang membinasakan yaitu : Ia akan mati dan hartanya akan diambil oleh warisnya, lalu dibelanjakan bukan pada tempatnya atau; hartanya akan diambil secara paksa oleh penguasa yang zalim atau; hartanya menjadi rebutan orang-orang jahat dan akan dipergunakan untuk kejahatan pula atau; adakalanya harta itu akan dicuri dan dipergunakan secara berfoya-foya pada jalan yang tidak berguna. ~ Sayidina Abu Bakar

Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya. Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina. Orang yang mencintai akhirat, dunia pasti menyertainya.
Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga. ~ Sayidina Umar bin Khattab

Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu diterima daripada banyak beramal, kerana sesungguhnya terlalu sedikit amalan yang disertai takwa. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
Janganlah seseorang hamba itu mengharap selain kepada Tuhannya dan janganlah dia takut selain kepada dosanya. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah

Tiada sholat yang sempurna tanpa jiwa yang khusyu’.
Tiada puasa yang sempurna tanpa mencegah diri daripada perbuatan yang sia-sia.
Tiada kebaikan bagi pembaca al-Qur’an tanpa mengambil pangajaran daripadanya.
Tiada kebaikan bagi orang yang berilmu tanpa memiliki sifat wara’.
Tiada kebaikan mengambil teman tanpa saling sayang-menyayangi.
~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan kalau tidak ada perhatian untuknya. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
Nikmat yang paling baik ialah nikmat yang kekal dimiliki.
Doa yang paling sempurna ialah doa yang dilandasi keikhlasan. Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak pula salahnya. Siapa yang banyak salahnya, maka hilanglah harga dirinya. Siapa yang hilang harga dirinya, bererti dia tidak wara’. Sedang orang yang tidak wara’ itu berarti hatinya telah mati. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah

Antara tanda-tanda orang yang bijaksana itu ialah :
1. Hatinya selalu berniat suci. Lidahnya selalu basah dengan zikrullah.
2. Kedua matanya menangis kerana penyesalan (terhadap dosa).
3. Segala perkara dihadapinya dengan sabar dan tabah.
4. Mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
~ Sayidina Utshman bin Affan

Tiada yang lebih baik dari dua kebaikan : Beriman pada Allah dan bermanfaat bagi manusia. Tiada yang lebih buruk dari dua kejahatan : Syirik pada Allah dan merugikan manusia.
Tiga tanda kesempurnaan iman : Kalau marah, marahnya tidak keluar dari kebenaran. Kalau senang, senangnya tidak membawanya pada kebatilan. Ketika mampu membalas, ia memaafkan.
Dengannya Allah kuburkan kedengkian, Dengannya Allah padamkan permusuhan; Melaluinya diikat persaudaraan; Yang hina dimulyakan. Yang tinggi direndahkan.
Jika orang dapat empat hal, ia dapat kebaikan dunia akhirat: Hati yang bersyukur, lidah yang berzikir, badan yang tabah pada cobaan, dan pasangan yang setia menjaga dirinya dan hartanya.
Nabi ditanya bermanfaatkah kebajikan setelah dosa? Ia menjawab: Taubat membersihkan dosa, kebaikan menghapuskan keburukan.
Manusia Paling baik adalah orang yang dermawan dan bersyukur dalam kelapangan, yang mendahulukan orang lain, bersabar dalam kesulitan.
Tiga manusia tidak akan dilawan kecuali oleh orang yang hina : orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya, orang cerdas cendikia dan imam yang adil.
Tiada musibah yang lebih besar daripada meremehkan dosa-odsamu dan merasa ridho dengan keadaan rohaniahmu sekarang ini.
Hati Adalah Ladang. Sesungguhnya setengah perkataan itu ada yang lebih keras dari batu, lebih tajam dari tusukan jarum, lebih pahit daripada jadam, dan lebih panas daripada bara. Sesungguhnya hati adalah ladang, maka tanamlah ia dengan perkataan yang baik, karna jika tidak tumbuh semuanya (perkataan yang tidak baik), niscaya tumbuh sebahagiannya.
** Dari berbagai sumber

Jumat, Maret 18, 2011

Puasa Ayyamul Bidh

erpuasa tiga hari setiap bulan disunnahkan dan nilainya terhitung seperti puasa dahr (setahun), karena amal shalih dalam Islam diganjar sepuluh kali lipat. Berpuasa sehari diganjar seperti puasa sepuluh hari. Maka siapa yang berpuasa tiga hari setiap bulannya, dia terhitung berpuasa setahun penuh.

Dari Abdullah bin ‘Amru bin Al-’Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasalah tiga hari dari setiap bulan. Sesungguhnya amal kebajikan itu ganjarannya sepuluh kali lipat, seolah ia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an Nasai)

Dan disunnahkan melaksanakannya pada Ayyamul Bidh (hari-hari putih), yaitu tanggal 13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah. Berdasarkan riwayat Abi Dzarr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنْ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Wahai Abu Dzarr, jika engkau ingin berpuasa tiga hari dari salah satu bulan, maka berpuasalah pada hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas.” (HR. At Tirmidzi)

Dari Jabir bin Abdillah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;

صِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صِيَامُ الدَّهْرِ وَأَيَّامُ الْبِيضِ صَبِيحَةَ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Puasa tiga hari setiap bulan adalah puasa dahr (puasa setahun). Dan puasa ayyamul bidh (hari-hari putih) adalah hari ketiga belas, empat belas, dan lima belas.” (HR. An Nasai dan dishahihkan al Albani)

Kamis, Maret 17, 2011

Buku Bagus

Knights Templar, Knights of Christ
Diposting oleh Syafruddin pada Apr 28, '08 6:21 PM untuk semuanya
Kategori: Buku-buku
Jenis Referensi
Penulis: Rizki Ridyasmara
Konspirasi Berbahaya Biarawan Sion

Judul buku : Knights Templar, Knights of Christ
Penulis : Rizki Ridyasmara
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
Edisi : Pertama, Oktober 2006
Tebal buku : xliv + 440 hlm.; 24,5 cm. (Hard cover)

Apakah anda termasuk yang larut dalam serunya petualangan yang diciptakan Dan Brown dalam karya fenomenalnya The Da Vinci Code (2005)? Pemecahan aneka simbol dan penelusuran sejarah masa silam yang dituangkan secara menegangkan oleh Brown, ternyata telah memukau dunia.
Banyak yang surprise, namun tidak sedikit yang gerah dibuatnya. Bisa jadi anda termasuk salah satu dari mereka. Mungkin—dari jenis manapun anda—hingga kini. Anda masih tetap penasaran dengan fakta-fakta lain yang masih tersembunyi dan belum diulas secara mendalam dalam The Da Vinci Code.
Mungkin tidak salah jika dikatakan bahwa The Da Vinci Code sesungguhnya hanyalah awal dari upaya mengungkap sebuah gerakan rahasia yang diduga kuat menjadi dalang dari hampir semua peristiwa kelam (yang mengenaskan) dalam sejarah umat manusia. Gerakan yang dimaksud itu bernama Biarawan Sion.
Istilah “Biarawan Sion” semakin dikenal setelah Dan Brown menyebut-nyebut dalam The Da Vinci Code. Dia menyebutkan bahwa organisasi ini adalah sebuah fakta. Dan Rizki Ridyasmara melalui bukunya Knights Templar, Knights of Christ, semakin menguatkan kebenaran fakta yang diungkap Dan Brown.
Kesan yang ditangkap setelah membaca buku The Da Vinci Code, seolah-olah Biarawan Sion adalah “korban”. Tetapi Rizki Ridyasmara melalui bukunya, Knights Templar, Knights of Christ mengungkap fakta bahwa Biarawan Sion justru adalah organisasi paling berbahaya yang harus diwaspadai. Mula-mula dari Perang Salib (Crusader), Perang Dunia ke-II hingga “perang melawan terorisme” yang dikumandangkan oleh Amerika Serikat dan negara sekutunya sekarang ini, diduga merupakan konspirasi keji organisasi Biarawan Sion.
Buku Knights Templar, Knights of Christ (Ksatria Biara, Ksatria Kristus) mengungkap lebih jauh tentang gerakan konspirasi yang dilakukan Biarawan Sion ini—yang belum diungkap Dan Brown dalam The Da Vinci Code.
Rizki Ridyasmara, penulis buku Knights Templar, Knights of Christ ini adalah peneliti gerakan Zionisme di dunia. Melalui buku ini, ia mencoba mengajak pembaca untuk melanjutkan “petualangan seru” menelusuri jejak-jejak Biarawan Sion—gerakan rahasia yang diyakini berada di belakang Knights Templar. Ksatria Biara ini melakukan konspirasi dan lobi-lobi politik tingkat tinggi dunia hingga kini yang mengejawantah dalam berbagai bentuk organisasi terbuka maupun tertutup seperti Freemason, The Federal Reserve, IMF, dan The Judeo Christianity. Konspirasi yang tak pernah diduga sebelumnya.
Buku karya Rizki ini sesungguhnya satu roh dengan The Holy Blood and the Holy Grail (Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln) dan The Da Vinci Code (Dan Brown). Paparan sejarah yang dikemukakan oleh kaum the free thinkers dan para kritisi sejarah kekristenan lebih dapat dipercaya ketimbang Injil yang sekarang beredar di tengah umat manusia.
Sejarah resmi masa kini merupakan cerita yang telah mendapat ‘segel resmi’. Telah disetujui oleh pihak yang berkuasa, walau belum tentu yang paling benar. Injil yang resmi beredar sekarang ini telah melalui seleksi yang kasar dan diikuti pembunuhan dan pengusiran yang dilakukan Kaisar Romawi, Gaius Flavius Valerius Aurelius Constantinus (The Great Constantine), yang didukung oleh penganut Trinitas. Sebuah Injil yang pro status quo, lebih memihak kepada tahta dan kekuasaan ketimbang kebenaran (fakta suci).
Ada banyak pertanyaan yang ingin dikupas. Adakah Biarawan Sion masih ada hingga sekarang—seperti yang ditegaskan oleh Michael Baigent, cs. Dalam buku The Holy Blood and the Holy Grail dan sejumlah peneliti lainnya—dan tetap bermain di belakang layar rezim penguasa dunia, pengusaha tinggi, jenderal berpengaruh, dan juga seniman serta artis papan atas.
Mereka—dengan nama yang bisa saja berganti-ganti—tetap bekerja hingga cita-cita satu pemerintahan dunia di bawah kepemimpinan Amerika Serikat (Pax Americana) tercipta sebagai pro-kondisi hadirnya “raja-pendeta” untuk berkuasa kembali mendirikan kerajaan di dunia?
Membaca buku ini seperti menyimak sebuah novel thriller, menegangkan dengan gemeretak geraham gregetan—penuh dengan konspirasi tingkat tinggi yang mengerikan, jahat, dan merusak tatanan dunia.©

Syafruddin Azhar adalah pengamat perbukuan dan peneliti pada Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP) Jakarta.

Cerita Hikmah

Suatu ketika dipagi hari, seorang pemuda yang baru saja mentamatkan sekolah menengahnya berbicara dengan Ibunya. Ia mengutarakan keinginannya untuk bisa melanjutkan sekolah ke bangku perkuliahan.
"Ibu, aku kan sudah lulus, Aku pngen bgt bisa kuliah kayak teman - teman yang lain. Aku ingin terus belajar Bu", kata si anak. mendengar keinginan si anak, ibunya hanya terdiam, dan perlahan terlihat air mata menetes di pipinya.
"Nak, syukur alhamdulillah kamu telah berhasil menyelesaikan masa sekolah menengahmu. Sungguh keinginanmu untuk melanjutkan kuliah sangatlah baik, Namun kamu pun pasti tahu akan realita yang kita hadapi, Bapakmu hanyalah seorang kuli bangunan, dan itupun tak selalu mendapatkan pekerjaan, bahkan terkadang harus menganggur hingga sedemikian lamanya, dan lihat adik - adikmu yang masih kecil, Bapakmu masih harus berjuang dengan segenap tenaganya untuk membiayai sekolah adikmu dan untuk membeli susu adik kecilmu. Syukur alhamdulillah kamu bisa menyelesaikan sekolahmu, itupun karena kamu mendapatkan dana bantuan beasiswa dari pemerintah, jika tidak, mungkin saja kamu sudah sejak lama dikeluarkan dari sekolah karena tdk bisa membayar SPP..", tutur sang ibu.
"Ibu, memang benar yang Ibu katakan, tapi Aku ingin kuliah Bu!! coba lihat anak - anak diluar sana, ada yang anak seorang pemulung namun ia bisa kuliah, bukankah bangku kuliah tidak memandang anak siapakah kita Bu?? Ibu tidak usah khawatir untuk masalah biaya, Kan ada kampus yang memang gratis selama kuliahnya, lagipula diluar sana banyak sekali orang yang menawarkan beasiswa, Aku yakin pasti bisa mendapatkannya, Aku yakin pasti bisa kuliah..", tutur si Anak menegaskan tekadnya untuk bisa kuliah.
"Lantas bagaimana dengan uang saku sehari - hari mu untuk kuliah??"
"Aku akan coba kuliah sambil mencari sampingan Bu, jika nanti ada dan tidak ada uang saku aku akan tetap berangkat kuliah Bu, meskipun harus berjalan seberapapun jauhnya, dan meskipun harus menahan lapar dan dahaga. Aku ingin tetap melanjutkan pendidikan hingga ke Bangku perkuliahan. karena aku yakin Jika kita mempunyai keinginan dan tekad yang kuat, ALLah pasti akan memberikan jalan, asalkan kita tidak menyerah dan tetap berusaha. Aku hanya ingin Ibu dan Bapak merestui akan pilihan yang akan aku jalani..", tutur si anak meyakinkan Ibunya.
"Nak, jika memang sedemikian kerasnya keinginanmu, Ibu dan Bapak tentu tidak bisa melarang, karena mau bagaimanapun kamulah yang akan menjalankan hidupmu, Kamu adalah seorang anak laki - laki yang sudah dewasa, tidak selamanya kamu akan terus bersama orang tua, Kamu yang berhak menentukan masa depanmu, hanya Ibu sudah mengingatkan bahwa Ibu dan Bapak tidak sanggup membiayai kamu untuk kuliah dan jika kamu beruntung mendapatkan beasiswa, kemungkinan Ibu dan Bapakmu tidak sepenuhnya bisa memenuhi biaya uang saku harianmu untuk kuliah..Ibu dan Bapak InsyaAllah akan merestui pilihan yang kau ambil ini..", jawab sang Ibu.
"Terimakasih Ibu", tutur sang anak tersenyum bahagia dan lalu memeluk Ibunya. Mereka berduapun tenggelam dalam kehauran.

-------------------------------------------------------------------------------------

Esok adalah Hari dimana sebuah institusi Sekolah tinggi pemerintah akan mengadakan tes masuk penerimaan mahasiwa baru. Pemuda itupun turut serta dalam mengikuti tes tersebut setelah sebelumnya berhasil lolos dari seleksi tahap pendaftaran. Ia mengikuti tes dengan baik dan sangat berharap bisa lolos dan diterima menjadi mahasiswa dikampus tersebut, karena kampus itu memang membebaskan biaya kuliahnya dan langsung menyalurkan bekerja ketika telah lulus.
Hari demi hari berlalu setelah hari tes tersebut, pemuda ini tidak henti - henti dan lelahnya bermunajat kepada ALLah SWT agar dapat lolos dan diterima dikampus tersebut, hingga akhirnya tibalah waktu pengumuman hasil tes tersebut.
"Ibu, hari ini pengumuman hasil tes masuk, doakan aku agar hasilnya lolos dan diterima dikampus tersebut.", tutur si anak meminta doa kepada ibunya sebelum berangkat untuk melijat pengumuman tes.
"Ibu dan Bapak senantiasa mendoakan yang terbaik bagimu, Nak",jawab sang Ibu,kemudian si anak mencium tangan Ibunya dan berpamitan untuk segera melihat hasil tesnya.

Sesampainya dilokasi pengumuman,dengan langkah sigap dan semangat pemuda tersebut mencari papan pengumuman hasil tes tersebut, dan terlihatlah kerumunan orang yang sedang berebut untuk bisa melihat papan pengumuman tersebut. Pemuda itupun menghampiri dan dengan mengeluarkan segenap tenaganya untuk berdesak - desakkan akhirnya ia tiba didepan papan pengumuman tersebut. Dengan sangat teliti ia memeriksa papan pengumuman tersebut, namun ia sama sekali tidak dapat menemukan namanya tertera disana. Berulang kali ia memeriksa kembali papan pengumuman tersebut, namun tetap saja hasilnya nihil. pemuda itupun kemudian menyerah dan memisahkan diri dari kerumunan orang - orang yang berdesakan untuk melihat papan pengumuman tersebut. Langkahnya yang sebelumnya sigap dan semangat berubah menjadi gontai dan lemas, ia pun kemudian duduk sejenak merenungi sebuah kenyataan yang baro saja ia terima. Ia meresa pupus sudah harapannya untuk bisa kuliah, ia tidak lolos tes masuk satu - satunya kampus yang ada di negaranya yang membebaskan biaya kuliah untuk mahasiswanya. Tak lama kemudian adzan berkumandang, pemuda tersebut kemudian bergegas untuk menjemput panggilan Cinta Tuhannya. ia menunaikan sholat di mesjid yang berada dikampus tersebut. Selesai sholat ia melihat disekitarnya terdapat mahasiswa kampus tersebut yang juga melaksanakan sholat, dalam lubuk hati kecil pemuda tersebut tetap terbesit sebuah keinginan untuk bisa kuliah, ia yakin bahwa suatu saat ia pasti bisa untuk kuliah, dan kemudian ia memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu dan mengumpulkan uang selama setahun. Targetnya tahun depan harus bisa kuliah dengan uang yang dikumpulkan dari berkernja.

Rabu, Maret 16, 2011

ملامح عامة عن التقابل اللغوي

الباب الأول
مقدمة
‌أ. خلفية البحث
اللغة طريقة إنسانية خالصة للاتصال الذي يتم بواسطة نظام من الرموز التي تنتج طواعيا ، ولا توجد لغتان تتماثل تراكيبهما تماما، ثم إن تعليم أية لغة لأجنبي عنها مشكلة تستحق التفكير والبحث والاهتمام، لهذا ظهرت عدة وسائل التعليم اللغوي ، وكذلك وجدت العديدة من المحاولات لإيجاد أنواع من الطرق لتعليم اللغة في وقت قصير وبجهد معقول وأقل صعوبة ونتج عن ذلك ظهور عدة الطرق للتعليم، منها : الطريقة التوليفية والطريقة المباشرة وكذلك من هذه المحاولات ظهور التقابل اللغوي.

‌ب. أسئلة البحث
1. ما مفهوم التقابل اللغوي؟
2. كيف نشأة التقابل اللغوي؟
3. ما أهداف التقابل اللغوي؟

‌ج. أهداف البحث
1. معرفة مفهوم التقابل اللغوي
2. معرفة نشأة التقابل اللغوي
3. معرفة أهداف التقابل اللغوي



الباب الثاني
ملامح عامة عن التقابل اللغوي

‌أ. مفهوم التقابل اللغوي
التقابل: هو المقارنة بين اللغتين ليستا مشتركتين في أرومة واحدة، كالمقابلة بين الفرنسية والعربية مثلا أو بين الإنجليزية والعربية ، أما إذا كانت المقارنة بين لغتين من أرومة واحدة كالعربية والعبرية مثلا – وهما من الأصل السامي- فهذا يدخل في مجال علم اللغة المقارنة. ونهاك فرق بين المقابلة اللغوية والمقارنة اللغوية ، فعلم اللغة المقارنة يقارن اللغات المنتمية إلى أسرة لغوية واحدة ، ويهتم في المقام الأول بالاستخدام الأقدم في هذه اللغات للوصول إلى اللغة التي تخرجت عنها كل هذه اللغات. ولذلك فعلم اللغات المقارنة ذو هدف تاريخي يحاول به كشف جوانب في الماضي البعيد، أما علم اللغة التقابلي فلا شأن له بهذه الاهتمامات التاريخية ودراسته ذات هدف تطبيقي في تعليم اللغات، ولذلك فالدراسة التقابلية ممكنة بين لغتين من أسرة واحدة أو من أسرتين مختلفتين لا يهدف التعرف على الأصل القديم ولكن يهدف التعرف على الفروق الصرفية النحوية والمعجمية بين النظامين اللغويين .
ويستنتج مما سبق أن التقابلية هي دراسة تبحث عن إبراز أوجه التشابه وأوجه الخلاف بين اللغتين المختلفتين في الأصل – لغة الأم واللغة الثانية المنشودة في نظام الأصوات وبناء الكلمة والجملة، ونظام الدلالة والتعامل مع أوجه الخلاف على أنها تنبوءات لنوعية الصعوبات والمشاكل التي سيواجهها المتعلم اللغة الثانية من جراء تداخل لغة الأم.
يقصـد بالتقابل اللغوي، أو التحليل التقابلي إجراء دراسة يقارن فيها الباحث بين لغتين أو أكثر، مبيناً عناصر التماثل والتشابه والاختلاف بين اللغات، بهدف التنبؤ بالصعوبات التي يتوقع أن يواجهها الدارسون عند تعلمهم لغة أجنبية. وهذا بالتالي يساعد في عدة أمور ؛ منها : تأليف الكتب والمواد التعليمية المناسبة، وإعداد الاختبارات اللغوية المناسبة أيضاً. وغير ذلك من المجالات العملية التعليمية.
ويُعتبر هذا الاتجاه في الدراسات اللغوية امتداداً للحركة الرائدة التي قادها روبرت لادو عندما أصدر كتابه "Linguistics Across Cultures"، وفيه يقدم منهجاً للدراسات التقابلية بين لغتين، مبيناً كيفية الاستفادة منها في تعليم إحداها. وكان يمثل شكلاً عملياً من أشكال الاستفادة من نتائج اللـــــــــغويات في تعليم اللغات. والتحليل التقابلي لا يقارن لغة بلغة، وإنما يقارن مستوى بمستوى, أو نظاما بنظام. أو فصيلة بفصيلة .
نحاول في هذا الفصل وضع علم اللغة التقابلي موضيع التطبيق العـــــملي و لنأخذ اللغات الانجلزية و الفرنسية من ناحية و هي من اللغات الهندو أورية. و اللغات العربية من ناحية أخرى؛ وهي من اللغات السامية مجالا لهذا التطبيق.
أوّل ما يتبادر إلى الذهن من فروق صوتية أنّ اللغة العربية لايبدأ فيها بالساكن و هذه القاعدة هي التي بنيت عليها فكرة همزة الوصل و همزة القطع؛ فما كان أوّله متحر كان من الكلمات المبدوءة بالهمزة كانت همزته همزة قطع، كالفعل الماضي الرباعي : أعرب، أكرم،.... وكأسماء الأعلام: أحمد، إسماعيل، و كالأفعال الثلاثية المبدوءة بالهمزة نحو أخذ، أكل.

أمّا ما كان أوله ساكنا فلابدّ حينئذ من همزة وصل؛ وهي التي يتوصل بواسطتها إلى النطق بالحرف الأول الساكن مثل: استنتج، انطلق ويتفق من هذا الأسماء العشرة التي سمع عن العرب أنّ همزتها همزة وصل، فهي جميعها تبدأ بالساكن نحو: ابن، و اثنان و امرأة و اسم- ويدل على صحة ذلك أيضا أننا نحذف التنوين من الاسم الذي يضاف إلى (ابن)؛ لأنّ التنوين حرف متحرك وقع بعده حرف ساكن. أمّا في اللغة الإنجلزية فنجد كلمات كثيرة تبدأ بالساكن مثل: Station, Small, Stay, Bring، دون حاجة إلى حرف قبل (s) أو (b) لكي يتوصل بواسطة إلى النطق به، وهذا بسبب صعوبة بالغة لمن يتعلم اللغة الانجلزية من غير الناطقين بها؛ إذ تراه مضطرا إلى النطق بالهمزة قبل الحرف (s) فيقول استاشن، أو مضطرا إلى كسر حرف (b) في bring فيقول بريج. و ربما قطع الهمزة في قوله استاشن و استاى.
وغير بعيد عنا أيضا في هذا المجال أنّ في العربية حروفا لانظير لها الإنجلزية كالحاء التي ينطقها الإنجلزي هاء؛ والحاء التي ينطقها كا....فيها إشمام بسيط من الحاء. وكذلك حرف الضاد_ الذي سميت به العربية _ لاوجود له في الإنجلزية، ولافي الفرنيسية، و ما الضاد إلا دال مفخمة إذا نطق بها الإنجلزي أو الفرنسي أزال عنها التفخيم، و نطقها دالا، أما حرف الغين فيكتب في الإنجلزية (gh) إذا أرادنا أن نكتب كلمة مثل (عاقل) والعين ينطقها الإنجلزي همزة.
وفرق آخر بين اللغتين سبب صعوبة على الدارس و المدرس كليهما هو أن في الإنجزية كلمات بها عدد من الرموز الصوتية التي لاينطق بها أي أنّ الحروف المكتوبة أكثر عددا من الحروف المنطوق، نحو كلمتي write, daughter ونجد هذه الظاهرة معكوسة في العربية، فاسما الإشارة هؤلاء وهذا دون ألف بعد الهاء، ومع ذلك تنطق الهاء وبعدها مد بالألف.
أمـا عن المفردات فنجد في الإنجلزية كلمة uncle دالة على العم أو المحال أو زوج العمة أو زوج المحالة؛ دون التفريق بين هذه الدلالات كلها، ومثلها في ذلك كلمة oncle الفرنسية. والكلمة الإنجلزية aunt والفرنسية tante لها المعانى التى ذكرت ولكنهاللمؤنث. وكلمة nephew الإنجليزية و neveu الفرنسية لابن ألأخ أو اللأخت، و كلمة niece الإنجلزية و niéce الفرنسية لابنة الأخ وابنة الأخت. كل ذلك دون تفريق بين ما يعزى إلى المذكر وما يعزى إلى المؤنث يعكس العربية التي تضع الدلالات المختلفة للمدلولات المختلفة، وتفريق بين ماكان راجعا في قرابته إلى المذكر وما كان راجعا إلى المؤتث. وهذا بلا شك يثير انتباه الدراس العربية من غير أبنائها، وتكون المسألة عنده أصعب بكثير عمّا هي في لغته.
وربما كان للمدلول الواحد في الإنجلزية عدد من الكلمات كقولهم his son in low ((ابنه في القانون)) وهم يعنون بذلك مدلولا واحدا في العربية وهو (صهره)، وعكسها his father in low تعني في العربية حماه.
ومما يلفت النطر فى التركيب , ويدخل حفا فى المجال التطبقى لعلم اللغة التقابلى- تركيب الجملة فى كل من اللغة العربية من ناحية، واللغتين الانجليزية والفرنسية من ناحية أخرى. فاللغة العربية لا تستعمل لفظا يرطب بين المبتدأ والخبر. بل يأتى المبتدأ متلوا بالخبر ليس غير، بعكس اللغتين الانجليزية والفريسية اللتين تأتيان بالمبتدأ subject وبعده الرابطة coupla ثم يلهما الخبر .predicate والرابطة فى الانجليزية فعل الكينونة (v. to be) وكذلك فى الفرنسية (v. etre) فيقال مثلا فى ترجمة (الولد مؤدب) (the boy is plite).

‌ب. ظهر التحليل التقابلي :
ظهر دور التحليل التقابلي بصـورة علمية في الخمسينات من القرن الميلادي الماضي, وكان من رواد هذا الأسلوب في اختيار المادة اللغوية لإعداد الكتب التعليمية على لادو عام 1945 في الولايات المتحدة الأمريكية وهو إجراء الدراسات التقابلية بين اللغات المختلفة للتعرف على ما يجب تقديمه لدارس اللغات الأجنبية. ونهج بعض علماء اللغة نهجه وأصبحت دراسة عالمية اهتم بها علماء اللغة عند وضع المنهج اللغوي. وفي عام 1957م ظهر أول كتاب بالإنجليزية وضعه اللغوي المعروف الدكتور روبرت لادو (Linguistic Across Culture ) ليرشد الباحثين إلى إجراء الدراسات التقابلية , وقد ذكر أن من أهم فوائد التحليل التقابلي الانتفاع به في مجال إعداد المواد التعليمية فيقول في ذلك :" وأهم شيء في إعداد المواد التعليمية هو مقارنة اللغة والثقافة الأصليتين (للدارس ) باللغة والثقافة الأجنبيتين , وذلك من أجل التعرف على العقبات التي لابد من تذليلها في أثناء التدريس " .

‌ج. أهداف التحليل التقابلي
ويهدف التحليل التقابلي إلى ثلاثة أهداف:
1- فحص أوجه الاختلاف والتشابه بين اللغات.
من الحقائق المقررة أن أوجها مشتركة تجمع اللغات جميعها، وهي التي يسعى العلماء الآن إلى بحثها فيما يعرف " بالكليات اللغوية". على أنه من الحقائق المقررة أيضا أن اللغة تختلف فيما بينها من حيث البنية على المستويات اللغوية جميعا، إذ الاختلاف موجود فى الأصوات، وفى الكلمة وفى الجملة، وفى المعجم.
2- التنبؤ بالمشكلات التي تنشأ عند تعليم لغة أجنبية ومحاولة تفسير هذه المشكلات.
فينهض على افتراض علمي بأن مشكلات تعلم لغة أجنبية تتوافق مع حجم الاختلاف بين اللغة الأولى للمتعلم واللغة الأجنبية؛ إذ كلما كان الاختلاف كبيرا كانت المشكلات كثيرة. وحين نضع أيدينا على طبيعة هذا الاختلاف يمكننا أن نتنبأ بالمشكلات التي ستنجم عند التطبيق العملي في عملية التعليم, ويمكننا أيضا أن نفسر طبيعة هذه المشكلات. فالتقابل بين العربية والإنجليزية مثلا يشير إلى وجود اختلافات بنائية كثيرة على المستويات اللغوية جميعها؛ فأصوات العين والحاء والخاء والغين مثلا ليس لها مقابل في الإنجليزية, وبعض الصيغ الفعلية في العربية مثل صيغة (فاعَلَ) ليس لها نظير فيها كذلك, والنعت يسبق المنعوت في الإنجليزية ويتأخر عنه في العربية, واسم الموصول يمكن أن يأتي بعد اسم نكرة في الإنجليزية, ولا يجوز ذلك العربية, وكلمة العم والخال لها مقابل إنجليزي واحد, وبعض ألفاظ القرابة ليس لها مقابل على الإطلاق. من هنا نتوقع أن يواجه متعلم لغته الأولى الإنجليزية مشكلات عند تعلمه العربية في بعض الظواهر؛ إذ من المتوقع جدا أن نجد جملة من مثل: رأيت طالبا الذي نجح.
3- الإسهام في تطوير مواد دراسية لتعليم اللغة الأجنبية.
فهو ثمرة طبيعية للهدفين السابقين ؛ فإذا توصلنا إلى وصف تقابلي لأنظمة اللغتين , وحددنا ما نتوقعه من مشكلات في ضوء هذا الوصف , أمكننا أن نطوّر مواد دراسية تواجه هذه المشكلات ابتداءً . وقد كان فريز يؤكد منذ أول الأمر أن أفضل المواد فاعلية في تعليم اللغة الأجنبية هي تلك المواد التي تستند إلى وصف علمي لهذه اللغة , وعلى وصف علمي مواز للغة الأم .
ورغم ما يبديه بعض الباحثين من تحفظ على هذا المبدأ فإنّ التحليل التقابلي أثبت نفعاً حقيقياً في تطوير المواد الدراسية في تعليم اللغة الأجنبية , وقد نزعم هنا أن التحليل التقابلي نافع أيضاً في تعليم اللغة لأبنائها ؛ إذ ثبت لنا بالتجربة العملية أن كثيراً من الظواهر اللغوية في العربية تكون أكثر وضوحاً حين تعرض على الدرس التقابلي , ومن هنا يصبح إدراكنا لطبيعة الظاهرة إدراكا أكثر علمية من فهمنا لبعض الجوانب المشتركة في قدرة التعليم حين تتلقى هذه الظاهرة , ويثمر ذلك _ بلا شك _ رؤية أفضل نحو تطوير المواد الدراسية لتعليم اللغة الأولى .
لقد ظلت الدراسات التقابلية تساهم في وضع الكتب ورسم المناهج المدرسية وتنه الباحثين بالأخطاء التي يمكن الوقوع فيها على ضوء دراساتهم للظواهر المماثلة، وترسم للدارسين الذين يرغبون في تعلم لغة جديدة منهجا يسيرون عليه مقابلا بمنهج في لغتهم الأم مع مراعاة العادات اللغوية التي يكن الدارس قد اكتسبها في لغته فتنبه إليها. وكذلك تساهم في اختيار الكتب المناسبة والمثمرة للدارسين وفي تدرج الكتب الدراسية في مجال البنية (النحوية) والنطق والمفردات والمحتوى الثقافي على أكمل وأحسن وجه .
وفي تذليل الصعوبات والمشاكل التي تواجه الطلاب الذين يتعلمون اللغة الأجنبية بعد حصر أوجه الاختلاف وأوجه التشابه بينها وبين لغة الأم، وتساعد المعلم على إضافة بعض التمارين الصالحة المناسبة ، غير الواردة في الكتب المقررة للدارسين أو على اختياره لهم التمارين المناسبة ، وكذلك تمهد الطريق للمدرس على شرح الموضوع وتحليل المشكلات التي تواجه الدارس بسرعة ودقة، لأنه يعرف الشكل أو النمط المقصود ويدرك على وجه الدقة الوجه الذي يسبب الصعوبة في ذلك النمط والبدائل التي يستعملها الدارس في ذلك الموضوع، ويكون قادرا على توجيه الدارس توجيها مختصرا أو إعطائه مؤشرا قد يحل ما يمكن أن يكون مشكلة كبيرة لدى التلاميذ ، وهكذا نجد أن علم اللغة التقابلية يعمل على تقويم المواد الدراسية قبل الاعتماد عليها للاستعمال وعلى تدريب الدارس على استيعاب الجمل وطريقة بنائها.
ولقد أظهر روبيرت لادو (Robert Lado) أهمية الدراسة التقابلية قائلا : " لا يكفي لمعلم أن يتحدث لغة معينة ليكون أهلا لتدريسها ، حتى ولو كانت هذه اللغة لغة الأم، بل لابد من معرفة الخصائص اللغوية للغة الهدف مع معرفة الحقائق اللغوية للغة الدارس الأصلية حتى يعرف المشكلات التي يتوقع أن يصادفها في تعليم لغة الهدف فيوجد حلولا لها" ولا بد من الوقوف على أوجه الاختلاف والاتفاق بين النظامين نظام لغة الأم للدارس ونظام لغة الهدف وجمع المعلومات التي يعتمد عليها في معالجة مشكلات طلابه.










الباب الثالث
الاختتام

أ‌. الخلاصة
1. التحليل التقابلى هو المقارنة بين اللغتين ليستا مشتركتين في أرومة واحدة، أما إذا كانت المقارنة بين لغتين من أرومة واحدة كالعربية والعبرية يدخل في مجال علم اللغة المقارنة.
2. التحليل التقابلي إجراء دراسة يقارن فيها الباحث بين لغتين أو أكثر، مبيناً عناصر التماثل والتشابه والاختلاف بين اللغات، بهدف التنبؤ بالصعوبات التي يتوقع أن يواجهها الدارسون عند تعلمهم لغة أجنبية. وهذا بالتالي يساعد في عدة أمور، منها : تأليف الكتب والمواد التعليمية المناسبة، وإعداد الاختبارات اللغوية المناسبة أيضاً. وغير ذلك من المجالات العملية التعليمية.
3. ظهر دور التحليل التقابلي بصـورة علمية في الخمسينات من القرن الميلادي الماضي عند لادو عام 1945. وفي عام 1957م ظهر أول كتاب بالإنجليزية وضعه اللغوي المعروف الدكتور روبرت لادو (Linguistic Acros Culture ) ليرشد الباحثين إلى إجراء الدراسات التقابلية , وقد ذكر أن من أهم فوائد التحليل التقابلي الانتفاع به في مجال إعداد المواد التعليمية فيقول في ذلك :" وأهم شيء في إعداد المواد التعليمية هو مقارنة اللغة والثقافة الأصليتين (للدارس ) باللغة والثقافة الأجنبيتين , وذلك من أجل التعرف على العقبات التي لابد من تذليلها في أثناء التدريس .



ب‌. اقتراحات و تعليقات
ونحن نفتاح باب التعليقات والتعقيبات للإخوة جميعاً فيما يتضمه هذا البحث من معلومات وغيرها. ونرجو من فضيلة الدكتور الإرشاد فإنه من طبيعة الطالب بل الإنسان أن يوجد في نفسه الخلاف كما أنه قد يوجد في هذا البحث هناك وها هنا نقص أو خطأ رغم أن الباحث بذل جهده في كتابة هذا البحث وتقديمه على أفضل مطلوب و أكمل وجه إلا أن لله الكمال وحده سبحانه.

Jumat, Desember 03, 2010

STANDAR BERBAHASA YANG BENAR, ANTARA BAHASA DAN NAHWU

A. Sekilas Tentang Bahasa dan Nahwu
1. Pengertian Bahasa dan Pokok Bahasannya
a. Pengertian Bahasa
Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language dalam bahasa Inggris, Taal dalam bahasa Belanda, Sparache dalam bahasa Jerman, Langue dalam bahasa Prancis, Lingua dalam bahasa Italia, Lengua dalam bahasa Spanyol, Lingua dalam bahasa Latin, Kokugo dalam bahasa Jepang, lughah dalam bahasa Arab.
Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri sesuai dengan pemakainya, untuk menyebut suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. (Oscar rusmaji, aspek-aspek linguistic : 1)
Keluasan aspek yang terkandung dalam istilah bahasa tersebut, terlihat dari beraneka ragamnya batasan istilah tersebut, seperti yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. (red. Ibid hal : 1-2).
Terlepas dari batasan-batasan istilah yang beraneka ragam tersebut dapat disimpulkan bahwa : bahasa secara teratur dan sistematik digunakan oleh si pemakai bahasa. Pada dasarnya bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal yang arbitrer, lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.

b. Ciri-ciri bahasa
Agar diproleh pengertian yang lebih memadai tentang bahasa perlu dikemukakan beberapa cirri yang dimilikinya sebagai berikut :
1) Bahasa adalah bunyi artikulasi
2) Bahasa itu berupa lambang-lambang
3) Bahasa adalah system yang terdiri dari beberapa system
4) Lambang bahasa itu bersifat arbiter
5) Bahasa itu murni manusiawi
6) Bahasa manusia tidakminstingtif
7) Bahasa adalah alat komunikasi
8) Bahasa bersifat konvensional
9) Bahasa itu bersifat universal
10) Bahasa bersifat kreatif

c. Ilmu bahasa (Linguistik)
Linguistik (latin, lingua=bahasa) adalah ilmu yang mempergunakan bahasa sebagai objek studi. Atau dalam dafinisi lain seperti yang diktakan Martinet (1987:19) tel’ah ilmiah mengenai bahasa manusia.(drs.Abdul Chaer, linguistic umum: 6) Anggapan dasarnya ialah bahwa bahasa itu adalah gejala (fenomena) alam yang berdiri sendiri terlepas dari fenomena yang lain. Karena itu, bahasa dapat dipelajari secara tersendiri, tanpa memperhatikan aspek-aspek di luar bahasa. Objek utaman dari linguistic adalah bahasa, sedang tujuannya adalah untuk mengkaji bahasa sebagai bahasa dan untuk bahasa itu sendiri yaitu bagaimana sifat-sifat dan cara kerja (perilaku bahasa).( Oscar rusmaji, aspek-aspek linguistic : 12)
Perlu diperhatikan bahwa menguasai suatu bahasa (dalam arti dapat memakai secara lancar) tidak sama dengan mampu menerangkan kaidah-kaidahnya. Tambahan pula belajar suatu bahasa tidak sama dengan tentang belajar bahasa tersebut. Misalnya, anda menguasai bahasa indonsia, tetapi tanpa keahlian khusus anda tidak dapat menerangkan tatabahasa Indonesia. Dengan perkataan lain apa yang anda kuasai (yaitu bahasa Indonesia sebagai language) memang merupakan objek penelitian linguistic terhadap bahasa inonesia, tetapi cara penguasaan tersebut bukan objek linguistik
Bidang-bidang yang mendasari adanya pengetahuan linguistik menyangkut stuktur struktur-struktur dasar tertentu, yaitu: struktur bunyi bahasa yang bidangnya disebut fonetik, dan fonologi, struktur kata yang namanya morfologi, struktur antar kata dalam kalimat yang namanya sintaksis, masalah arti atau makna yang namanya semantic, hal-hal yang menyangkut siasat komonikasi antar orang dalam parole, atau pemakaian bahasa dan menyangkut juga hubungan tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan, yang namanya pragmatik.

2. Pengertian Nahwu dan Bahasannya
a. Pengertian tentang nahwu
Menurut ahmad al Hasyim, nahwu secara etimologi berarti maksud, arah, dan ukuran. Adapun secara terminology nahwu adalah aturan (dasar hukum) yang digunakan untuk member baris (syakal) akhir kata sesuai dengan jabatannya masing-masing dalam kalimat agar terhindar dari kekeliruan, baik bacaan maupun pemahaman.
Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat (الجملة). Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran (الاسناد). Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.
Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.
Bangsa Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek. Saat sedang bersantai dengan keluarga misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada saat yang lain mereka harus menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
Setelah Islam berhasil melakukan futuh ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab mau tidak mau harus bergumul dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab tersebut. Akibat pergumulan yang berlangsung secara intens dan dalam waktu lama, bahasa Arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun mereka melakukan banyak kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab yang baru belajar berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh orang awam namun juga oleh orang-orang terpelajar dan para sastrawan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an, telah mendorong sebagian orang yang mahir berbahasa untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa, yang pada kemudian hari dikenal sebagi ilmu nahwu.




b. Prinsip-Prinsip Dalam Nahwu
1. Al-Simâ’.
Ahli al-Badiyah (al-Badwi) sebagai pemegang otoritas.Salah satu unsur terpenting dan utama yang menjadi pilar bagi tatabangun Ilmu Nahwu adalah al-Sima’ yang secara harfiah bearti “mendengar atau mendengarkan”. Tetapi kata tersebut memiliki pengertian yang lebih luas dari sekeda arti di atas. Al-Sima’ dalam konteks nahwu berarti sebuah penelitian suatu peristiwa bahasa yang dilakukan oleh para ahli dengan cara mencari informasi dari sumber aslinya untuk memastikan keotentikan suatu kasus kebahasaan yang sedang mereka hadapi. Sebenarnya prinsip al-Sima’ ini lebih erat kaitanya dengan masalah budaya daripada sebuah sistem ilmu pengetahuan. Budaya yang dimaksud di sini adalah budaya “otoritas”. Dalam tradisi Arab klasik terdapat kelompok tertentu yang diyakini memiliki otoritas dalam persoalan bahasa sehingga mereka selalu menjadi rujukan atau bahkan penentu bagi kevaliditasan sebuah teori atau pembuatan aturan dalam tatabahasa, tentu selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kelompok pemegang otoritas tersebut adalah masyarakat Arab yang tinggal di daerah pedalaman atau pegunungan yang dalam sistem sosial Arab biasa disebut dengan “Ahl al-Badwi atau al-‘A’râb. Oleh karena itu, para ahli bahasa dan nahwu pada abad awal hingga pertengahan Islam, mereka selalu menjadikan al-A’rab atau ahli al-Badwi sebagai rujukan dalam persoalan kebahasaan meskipun dalam tingkat dan kadar kekritisan yang berbeda-beda antara satu ahli dengan yang lain. Para ahli Nahwu mazhab Basrah dan Kufah, misalnya, meskipun mereka sama-sama mencari legitimasi dan refrensi dari al-A’rab, tetapi mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam menilai informasi yang dapat dari al-A’rab. Dalam pandangan orang Kufah, semua yang mereka dengar dan dikatakan oleh al-A’rab mereka anggap valid dan original sehingga sah dan dapat dijadikan sebagai standar kebenaran sebuah teori untuk menentukan kaidah kebahasaan. Akibatnya, nahwu mazhab Kufah cenderung lebih memiliki banyak variasi dan lebih longgar dalam merumuskan kaidah-kaidah nahwu mereka. Sebab, suatu ketentuan kaidah dalam sistem gramatika mazhab tersebut bisa mereka tetapkan hanya berdasarkan dan mengacu pada sebuah bait puisi masyarakat badui sebagai pijakan atau rujukan penetapannya.
Tidak demikian dengan mazhab Bashrah, sesuai dengan karakter mereka yang sangat rasional dan kritis, mereka sangat selektif, melakukan kalaifikasi dan verifikasi atas segala informasi yang mereka dapat dari al-‘Arab sebelum dijadikan sebagai rujukan atau acauan teori yang akan mereka bangun. Di samping itu, secara geografis letak kota Bashrah yang lebih dekat dengan daerah pedalaman daripada kota Kufah, membuat para ahli nahwu Bashrah dapat berinteraksi lebih erat sehingga lebih dapat mengenali dan memahami karakter masyarakat badui, mana diantara mereka yang dapat dijadikan sumber informasi dan mana yang sebaliknya. Sedangkan Kufah, di samping lebih dekat ke Irak daripada ke daerah pedalaman, bahasa masyarakat kota ini sudah banyak tercampur dengan bahasa asing, terutama dari masyarakat Yaman dimana bahasa Arab Yaman ini banyak tercampuri pula oleh bahasa Parsi dan Ethopia. Oleh karena itu, bahasa Arab Kufah dianggap kalah fasih dengan bahasa Arab Bashrah.

2. Al-Qiyâs
Prinsip kedua dalam epistemologi nahwu adalah al-Qiyâs. Prinsip muncul dan digunakan dalam merumuskan kaidah kebahasaan seiring dengan dimulainya permusan dasar-dasar ilmu nahwu. Dalam berbagai literatur yang membicarakan teori dan gramatika bahasa Arab, hampir seluruhnya menyebutkan bahwa prinsip al-Qiyâs telah mulai digunakanoleh tokoh yang dianggap sebagai bapak Ilmu Nahwu, Abu al-Aswad al-Du’ali, kemudian diperluas pemaknaan, pengertian dan penggunaannya oleh para ahli nahwu generasi selanjutnya terformula dalam mazhab-mazhab nahwu itu. Pada masa awal kemunculan nahwu, al-Qiyas memiliki pengertian yang sangat sederhana, yakni:”menjaikan bahasa yang dianggap benar (fasih) sebagai ukuran atau analogi dan model pembentukan suatu kalimat tertentu”. Jadi, al-qiyas adalah membentuk pola bahasa dengan pola bahasa yang telah ada sebelumnya, baik dalam segi struktur kalimatnya maupun dari segi bentuk I’rabnya.
Dengan kata lain, al-Qiyas semula merupakan pengembangan lebih lanjut dari prinsip al-Sima’ yang telah muncul sebelumnya. Itu sebabnya, para ahli nahwu generasi awal juga terkadang berbeda pendapat sendiri untuk menentukan sebuah kasus dalam bahasa apakah ia sima’i atau qiyasi.
3. Al-Âmil‎‎‎‎‎‎‎‎‎‎.
Prinsip ketiga dalam sistem epistemologi “Ilmu Nahwu” adalah “amil” (al-‘Amil). ‘Amil yang merupakan bentuk isim fa’il dari kata “ ‘amil” secara harfiah berarti “sesuatu yang bekerja”. Tetapi dalam pengertian ahli nahwu amil adalah “hal-hal yang menyebabkan atau mempengaruhi yang lain dari segi i’rabnya”. Amil tersebut dapat berupa sebuah kata verbal (terucapkan, tertulis) atau berupa kata yang tereksplisitkan secara jelas (ma’nawi), juga dapat berupa huruf-huruf yang difungsikan sebagai amil. Amil, meskipun muncul lebih belakangan jika dibandingkan dengan prinsip al-Qiyas dalam bentuknya yang paling awal, namun ia memiliki peran yang sangat dominan dan yang terpenting dari seluruh sistem epistemologi ilmu nahwu, khususnya dalam formulasinya seperti yang kita kenal sekarang ini. Seperti telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa prinsip al-Qiyas muncul seiring dengan munculnya kesadaran para ahli bahasa untuk mulai mengilmiahkan bahasa Arab, sementara konsep amil baru dimunculkan, dirumuskan dan dikembangkan oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.
Begitu dominannya peran amil dalam nahwu sehingga hampir seluruh kitab yang berbicara soal nahwu membahasnya hingga melampaui pembahasan prinsip-prinsip lainnya. Fenomena seperti ini tampaknya wajar belaka mengingat secara faktul amil memang menjadi titik sentral dan menjadi pilar utamanya dalam tatabangun (epistemologi) ilmu nahwu, sedangkan prinsip-prinsip lain hanya bersifat komplementer yang kehadiranya sekedar untuk menopang dan memperkuat posisi amil itu sendiri. Akibat dari munculnya prinsip yang sangat dominan dalam ilmu ahwu tersebut, munculah kemudian persoalan-persoalan nahwu yang bersifat spekulatif dan rasional. Mislnya saja, sekedar contoh, jika dalam awal kemunculan ilmu nahwu telah dirumuskan teori “al-Fa’il atau al-Mubtada’”, keduanya berfungsi sebagai subyek, dan beri’rab rafa’ sebagai tanda statusnya, maka oleh al-Khalil mengajukan sebuah pertanyaan; apa atau siapa yang membuat mubtada atau fa’il itu dibaca rafa’? Maka iapun lalu menyusun teori barunya yang ia sebut dengan “amil” itu. Berawal dari prinsip amil ini pula kemudian lahir teori-teori lain yang merupakan pengembangan atau solusi bagi kasus-kasus tertentu yang tidak dapat dipecahkan dengan amil yang bersifat verbal, misalnya saja muncul istilah amil maknawi, amil muqaddar (yang diperkirakan ). Juga muncul teori “illat” dengan berbagai ragam dan macamnya. Itu sebabnya, kemudian muncullah tokoh-tokoh ahli nahwu yang mencoba membebaskan nahwu dari berbagai kerumitan teori dan dari prinsip-prinsip yang mereka anggap sebagai hal yang tidak perlu ada, atau paling tidak tidaka terlalu mendesak untuk tetap dipertahankan. Berbagai karya kemudian mereka tulis, baik yang sengaja menyajikan intisari dari ilmu nahwu dan tanpa melakukan kritik terhadap karya-karya lain yang terlebuh dahulu, maupun karya yang sengaja ditulis sebagai kritik dan penolakan atas prinsip-prinsip nahwu seperti di atas. Tulisan-tulisan nahwu model ini dan yang serupa kemudian oleh para penulis dan peneliti nahwu dianggap sebagai pembaharuan dalam nahwu.

B. Bahasa dan Nahwu (Tata Bahasa)
Andai saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jini – yakni “suara yang diucapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen manusiawi yang dikhususkan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan keinginan, melalui aturan-aturan yang sistematis, yang dilakukan dengan sadar. Apabila kita mengenal konsepsi seperti diatas, maka kita akan memahami bahasa sebagai sesuatu yang bersifat menyeluruh, atau bahwa bahasa merupakan aturan umum yang tersusun dari aturan-aturan parsial yang satu sama lain tidaklah saling bertentangan. Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak akan mungkin bisa terlepas dari bahasa apabila bahasa memang memerankan posisinya sebagaimana disebutkan diatas.
Aturan-aturan parsial yang dimaksud ialah:
1. Aturan sintaksis (al-nizham al-nahwiy)
2. Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy)
3. Aturan pelafalan (al-nizham al-shautiy)
4. Aturan semantik (al-nizham al-dalaliy)
Aturan sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam menyusun kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah pada kalimat (al-jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam batas-batas tertentu. Maksudnya, ilmu nahwu secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita disebut sebagai hubungan penyandaran (isnad), atau dalam analisis yang dipakai oleh Imam Abdul Qohhar Al-Jurjaniy dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan dalam mengungkap keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya Indikasi-indikasi Keajaiban (Dalaa-il al-I’jaz) : “Ketahuilah bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda sendiri, maka Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni bahwasanya dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu kecuali bahwa sebagian mesti tergantung pada yang lain dan sebagian mesti dibangun diatas yang lain. Demikian pula, suatu keadaan ini mesti disebabkan oleh sesuatu yang lain. Yang demikian ini merupakan sesuatu yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang berakal sehat, juga merupakan sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang manusia pun. Apabila kita mengamati yang demikian itu, kita akan mengetahui bahwa, tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan sebuah isim maka isim tersebut pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda menggunakan dua buah isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang lainnya.

Apabila Anda meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim yang kedua pasti merupakan shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal) baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat sempurna maka isim tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz. Apabila Anda menginginkan bahwa dari dua fi’il, salah satu menjadi syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus memakai huruf atau isim dengan makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa menganalogikannya”.
Selanjutnya, beliau melanjutkan dengan menjelaskan pentingnya berpegang pada kaidah-kaidah dan hukum-hukum nahwu, serta menjaga keterkaitan antara bagian-bagian kalimat di satu sisi dan keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya di sisi yang lain. Demikianlah sampai kalimat-kalimat kita menjadi teratur dan tersusun secara sempurna, dalam rangka mengungkapkan makna tertentu. Dalam hal ini, beliau menulis : “Ketahuilah bahwa tidaklah aturan itu dibuat kecuali agar Anda meletakkan kalimat-kalimat Anda pada tempatnya sebagaimana yang telah diatur oleh ilmu nahwu, dan agar Anda mentaati hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya. Demikian pula, aturan tersebut dibuat agar Anda memahami manhaj-manhajnya. Maka, janganlah Anda melanggar dan mengabaikannya”.
Lebih jauh lagi, beliau menambahkan bahwa nahwu merupakan ukuran bagi benar-tidaknya ucapan dan kualitas keteraturannya. Sebaliknya, menyalahi hukum-hukumnya akan berakibat pada rusaknya ucapan dan rendahnya kualitas keteraturannya. Beliau menulis: “Persoalannya ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya – jika memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk dalam makna ilmu nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa dinyatakan benar atau salah susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat yang bagus dan indah, kecuali Anda harus mempunyai rujukan tentang kebenaran dan kekeliruannya, atau tentang kebagusan dan keindahannya, yang semua itu terdapat dalam makna-makna dan hukum-hukum ilmu nahwu, serta prinsip-prinsip dan bahasan-bahasannya”.
Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan dengan pembentukan kata (al-bunyat wa al- shighat). Ilmu ini mempelajari timbangan-timbangan (wazan) dan indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan (al-hadzf), penambahan (al-ziyadat), perentangan (al-tathwil), pemendekan (al-taqshir), peleburan (al-idgham), pembalikan (al-qalb), penggantian (al-ibdal), pencacatan (al-i’lal), serta keadaan saat terus (washl) dan saat berhenti (waqf). Dari sana kita bisa mengatakan bahwa titik tekan kajian sharf ialah al-shighat wa al-bunyat atau, dengan kata lain, kata (al-kalimat).
Adapun ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari pelafalan bahasa, dari sisi karakteristiknya, sifat-sifatnya, macam-macamnya, serta cara pelafalan dan perpindahannya dari mulut pembicara ke telinga orang yang mendengarkan. Dengan demikian titik tekan kajian pelafalan ialah suara (al-shaut).
Mengenai yang terakhir, yakni ilmu atau aturan penunjukan (indikasi) makna, sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon (al-ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna kontekstualnya (al-ma’na al-siyaqi) yang disebabkan oleh susunan disekitarnya, makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti aspek individu, bahasa, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.
Cabang-cabang ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan ilmu bahasa secara keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu cabang dari yang lainnya karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu yang bisa dipisah-pisah. Bahasa tidak akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya apabila salah satu atau beberapa bagiannya ditiadakan.
Bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya dari segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan, atau penunjukan maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak mungkin bisa ditinggalkan. Kita membedakan atau memilah-milah aturan-aturan tersebut hanyalah sebatas untuk menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari secara terpisah, karena masing-masing aturan tersebut memiliki manhaj, tema, tujuan, persoalan, dan kaidahnya sendiri-sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan dalam rangka studi dan pengkajian, serta untuk tujuan-tujuan pengajaran dan pendidikan.
Dari sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan antara nahwu dan sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya merupakan elemen-eleman dari satu kesatuan yakni bahasa.
Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik dan funsi ilmu nahwu, kiranya jelas bahwa nahwu tidaklah sebagaimana yang didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat dari akhir kata serta i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas dari pada sekedar masalah harakat akhir kata. Ia merupakan ilmu yang mengkhususkan diri berbicara tentang aturan menyusun dan merangkai ucapan. Kata-kata harus disusun berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-kaidah yang sudah ada. Demikianlah kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain, memiliki harakat yang berbeda-beda, dan memiliki posisi yang berbeda-beda, sesuai dengan aturan umum berbahasa. Nahwu merupakan ilmu mengatur kata-kata atau ilmu menyusun kata-kata, yang banyak mempelajari tentang pengaturan kalimat dalam berbagai macam dan bentuknya. Ia juga mempelajari tentang elemen-elemen kalimat, baik dari sisi kedudukannya, fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk dalam aturan-aturan nahwu.

C. Standar Berbahasa Yang Benar (Bahasa Baku), Antara Bahasa dan Nahwu
Istilah bahasa baku telah dikenal oleh masyarakat secara luas. Namun pengenalan istilah tidak menjamin bahwa mereka memahami secara komprehensif konsep dan makna istilah bahasa baku itu. Bahasa baku ialah bahasa yang menjadi pokok, yang menjadi dasar ukuran, atau yang menjadi standar.
Bahasa baku yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Berkaitan dengan peraturan bahasa, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis. Tanpa pengetahuan tata bahasa yang memadai, kita akan mengalami kesulitan dalam bermain dengan bahasa .
Dalam bahasa arab terdapat istilah bahasa fushah atau bahasa arab setandar. Bahasa baku dalam bahasa arab disebut dengan lughah fusha. Dan dia adalah: bahasa al-quran al karim, bahasa warisan bangsa arab, yang digunakan dalam interaksi sehari-sehari secara resmi .
Bahasa Arab standar ini contoh konkretnya adalah bahasa Arab yang dipergunakan dalam setiap komunikasi dengan teratur. Artinya, pemakaian bahasa Arab Fusha itu mempunyai aturan yang disebut dengan tata bahasa. Kosa kata yang dipergunakan dalam ko-munikasi tidak terlepas terpisah-pisah secara bebas tanpa aturan tertentu, tetapi senantiasa mengikuti kebiasaan-kebiasan secara otomatis dalam bahasa Arab yang selanjutnya kebiasaan-kebiasaan itu dijadikan kaedah-kaedah bahasa Arab. Kaedah-kaedah itu dikenal dengan ilmu nahwu dan sharaf. Dengan aturan itu maka bahasa Arab yang dipergunakan sejak zaman Rasulullah SAW. dapat dipahami dengan mudah oleh generasi berikutnya sampai generasi jauh di masa-masa yang akan datang. Bahasa Arab Fusha ini tidak mengalami nasib seperti bahasa asing lainnya yang sulit dipahami oleh generasi berikutnya.
Setiap Negara memiliki satu bahasa resmi atau bahasa kebangsaan. Bahasa itu menjadi istimewa dengan adanya ketetapan/kaedah tata bahasa (nahwu). Dan selalu digunakan dalam penulisan resmi dalam segala urusan di satu Negara atau antara beberapa Negara yang menggunakan bahasa yang sama. Bahasa ini juga digunakan dalam menterjemahkan buku-buku ilmiah. Dan segala urusan administrasi Negara atau pidato-pidato resmi kenegaraan begitu juga dengan segala urusan yang bersifat fomal. Biasanya bahasa tulisan lebih fusha dari bahasa lisan. Dan dalam bahasa fusha tidak ditemukan bahasa ‘amiyah.
Sumber-sumber yang dijadikan sebagai penetapan ukuran bahasa fusha menurut ahli bahasa arab adalah:
1. al-Qur’an al-Karim
al-Quran merupakan standar bahasa fusha yang tertingi, dan contoh terbaik bagi bahasa satra yang disepakati secara umum. Oleh karena itu ahli bahasa sepakat untuk mengakuinya dan menerima setiap kaedah yang berasal dari al-Qur’an.
2. al-qira’ah al-Qur’aniyah
Qira’at qur’aniyah yaitu bentuk-bentuk qira’ah yang diperbolehkan oleh Nabi S.A.W dalam membaca al-Quran dengan tujuan mempermudah. Diriwayatkan dlam sebuah hadits ketika jibril datang kepada nabi lalu berkata:
إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك القرآن على حرف، فقال صلى الله عليه وسلم: أسأل الله معافاته ومعونته إن أمتي لا تطيق ذلك. ولم يزل يردد المسألة حتى بلغ سبعة أحرف.
3. al-Hadits al-Nabawi al-Syarif
Dalam menetapkan hadits nabi sebagai standar bahasa yang baku, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli bahasa modern (muhaditsin). Sedangkan ahli bahasa klasik (mutaqaddimin) sepakat untuk menjadikan hadits nabi sebagai sumber standar bahasa yang benar, dengan menyertakan sebagaian hadits-hadits tersebut dalam buku-buku mereka, meskipun sedikit.

4. al-Syi’ru
Ahli bahasa memberikan perhatian yang besar terhadap syair arab klasik dan menganggapnya sebagai dasar awal peletakan bahasa baku dalam bahasa arab. Seperti dikatakan bahwa syair itu diwan orang arab.
Dalam syair arab klasik terdapat penetapan secara baku aturan-aturan dalam berbahasa, sehinggga benar atau salahnya bahasa seseorang dapat diukur dengan merujuk ke syair.
5. al-Syawahid al-Natsriyah
Natsar yang dijadikan sebagai sumber standar bahasa baku adalah yang berupa, khutbah (pidato), wasiat (nasehat), amsal (perumpamaan) dan hikmah. Dan semua itu dianggap sebagai bagian sastra yang penting dan memiliki kedudukan sama dengan syair.

Jumat, Januari 08, 2010